Sejarah Perang Diponegoro Singkat

Sejarah Perang Diponegoro Singkat

KOMPAS.com - Perang Diponegoro adalah serangkaian pertempuran antara Pangeran Diponegoro melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.

Pangeran Diponegoro merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811).

Bermula di Yogyakarta, tempat terjadinya Perang Diponegoro meluas hingga ke banyak daerah di Jawa.

Oleh sebab itu, perlawanan Pangeran Diponegoro juga kerap disebut sebagai Perang Jawa.

Apa sebab umum dan sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro?

Baca juga: Perang Diponegoro: Penyebab, Strategi, dan Dampaknya

Penobatan Pangeran Menol

Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak di usia 18 tahun.

Residen Yogyakarta, Baron de Salis, pada awalnya meminta Pangeran Diponegoro untuk menggantikan, tetapi ia menolak.

Suara.com - Foto Anies Baswedan memegang tongkat Pangeran Diponegoro kembali jadi sorotan di media sosial, baru-baru ini. Padahal sebetulnya itu merupakan momen lebih dari sembilan tahun yang lalu.

Anies, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), mewakili pemerintah Indonesia menerima langsung pengembalian Tongkat Kiai Cokro.

Perlu diketahui, tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro berbentuk setengah lingkaran ini disimpan selama 183 tahun oleh keluarga Baud di Belanda, yang pada 2015 mengembalikannya secara langsung pada pemerintah Indonesia.

Kini, kisah seputar benda peninggalan itu telah menciptakan gelombang spekulasi di media sosial. Beberapa pihak menganggap bahwa penyerahan tongkat Diponegoro kepada Anies Baswedan cukup mencuri perhatian.

Baca Juga: Bukan Hasto, Ternyata Sosok Ini yang Bisiki Megawati Pilih Pramono Anung-Rano Karno Maju di Pilgub DKI

Anies Baswedan pun disebut-sebut telah menikung Presiden Jokowi. Publik membaca kejadian ini sebagai langkah yang mengesankan Anies sebagai individu dengan pengaruh besar.

Mitos yang berkembang di masyarakat Jawa menyebutkan bahwa orang yang memegang tongkat sakti tersebut akan mendapatkan kekuatan dan pengaruh tertentu, menambah kontroversi terkait pengalihan penerima tongkat.

Isu ini diperkuat ketika jurnalis Andy Noya, dalam wawancaranya dengan Anies Baswedan pada tahun 2023, menanyakan tentang tuduhan bahwa Anies mungkin telah menelikung Jokowi dengan menerima tongkat Diponegoro.

Anies menjelaskan bahwa penyerahan tongkat tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah disepakati dan bahwa tidak ada niat untuk mengungguli Presiden Jokowi.

Pada saat itu, sejarawan Rushdy Hoesein menyatakan bahwa dia belum menemukan bukti apakah Pangeran Diponegoro pernah memiliki tongkat. Status sejarah dari tongkat pusaka tersebut masih belum jelas.

Baca Juga: Gagal Perjuangkan Anies, Partai Buruh Akan Absen Di Pilkada Jakarta

Berdasarkan bukti-bukti yang ada, seperti foto dan lukisan di Museum Diponegoro, tidak ada informasi yang menunjukkan bahwa Pangeran Diponegoro memegang tongkat. Namun, melihat tongkat yang dipegang oleh Anies pada waktu itu, tampaknya tongkat tersebut bukanlah tongkat yang digunakan untuk berjalan.

Menurut Rushdy, tongkat itu lebih mirip dengan peralatan perang. Pada bagian atas tongkat terdapat ukiran, sementara bagian bawahnya tidak memiliki keistimewaan khusus dan bukan tongkat yang menyimpan keris di dalamnya.

Tongkat Pangeran Diponegoro: Ratu Adil Jawa

Rushdy mengidentifikasi bahwa tongkat milik Pangeran Diponegoro kemungkinan adalah alat perang. Sementara itu, sejarawan Peter Carey dalam karyanya "Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855" menyebutkan bahwa tongkat tersebut dikenal sebagai "Erucokro," gelar yang menunjukkan tongkat itu memiliki hubungan dengan konsep Ratu Adil Jawa.

Carey menjelaskan bahwa tongkat tersebut diartikan sebagai bagian dari perjalanan spiritual Diponegoro, dengan desain cakranya yang mirip dengan senjata Dewa Wisnu dalam mitologi Jawa.

Selama masa tinggal di Belanda, keluarga Baud pernah menceritakan tentang tongkat pusaka Pangeran Diponegoro. Tongkat ini diberikan kepada leluhur Baud pada tahun 1834, sebagai hadiah di tengah situasi politik yang penuh ketegangan dan ketidakstabilan kekuasaan kolonial, sebagaimana dijelaskan di situs web Kemendikbud.

Setelah meninggalnya ayahanda ahli waris Jean Chretien Baud pada 2012, tongkat tersebut disimpan di rumah saudara perempuannya, Erica. Pada Agustus 2013, Harm Steven dari Rijksmuseum menghubungi keluarga Baud untuk menginformasikan tentang asal-usul tongkat tersebut.

Tongkat Pangeran Diponegoro Diteliti Sejumlah Ahli

Tongkat itu telah diteliti oleh sejumlah ahli yang mengkonfirmasi keaslian dan pentingnya artefak tersebut. Keluarga, sebagai ahli waris dari berbagai periode sejarah, menyadari betapa signifikan penemuan ini dan merasa bertanggung jawab untuk merawatnya dengan baik.

Kemudian, keluarga membahas makna dan konteks pemberian tongkat pusaka tersebut oleh leluhur mereka. Dalam diskusi tersebut, muncul keputusan untuk mengembalikan tongkat itu ke Indonesia.

Keluarga berharap penyerahan tongkat Pangeran Diponegoro ini akan menjadi simbol penting dalam memasuki era baru yang penuh dengan saling menghormati, persahabatan, dan kebersamaan.

Selain tongkat, Raja Belanda Willem Alexander juga menyerahkan sebuah keris milik Pangeran Diponegoro kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2020. Penyerahan keris tersebut berlangsung saat pertemuan antara Raja Willem dan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.

Sebagaimana dilansir dari berbagai sumber, Raja Willem yang didampingi oleh Ratu Belanda Maxima, mengunjungi Istana Bogor pada hari Selasa, 10 Maret 2020 lalu.

Penyerahan keris, yang selama ini tersimpan di Belanda, dilakukan secara simbolis setelah pernyataan pers bersama antara Raja Willem dan Presiden Jokowi.

Seperti itulah sejarah Tongkat Pangeran Diponegoro hingga mitosnya tentang ratu adil Jawa.

Kontributor : Rishna Maulina Pratama

Sejarah Singkat Pragmatik

Pada pemaparan kali ini penulis mencoba merangkum dari berbagai sumber mengenai sejarah singkat tentang narkoba. Karena dinilai penting sekali masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan untuk mengetahui apa sebenarnya dan berawal darimana narkoba itu berasal. Di awali dengan sejarah narkoba di Indonesia. Di Indonesia Narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik "narkoba" atau napza, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai resiko kecanduan bagi penggunanya.

Menurut pakar kesehatan narkoba sebenarnya adalah psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu.

Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina.

Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang. Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).

Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor. Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278 Juncto 536).

Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut.

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949).

Baru pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.

Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing.

Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.

Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah UU Anti Narkotika nomor 22/1997, menyusul dibuatnya UU Psikotropika nomor 5/1997. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.

Dan jauh sebelum Indonesia mengenal narkoba, sekitar tahun 2000 SM di Samaria dikenal sari bunga opion atau kemudian dikenal opium (candu = papavor somniferitum). Bunga ini tumbuh subur di daerah dataran tinggi di atas ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Penyebaran selanjutnya adalah ke arah India, Cina dan wilayah-wilayah Asia lainnya, cina kemudian menjadi tempat yang sangat subur dalam penyebaran candu ini (dimungkinkan karena iklim dan keadaan negeri). Memasuki abad ke XVII masalah candu ini bagi cina telah menjadi masalah nasional, bahkan di abad XIX terjadi perang candu dimana akhirnya cina ditaklukan Inggris dengan harus merelakan Hong Kong.

Tahun 1806 seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Wilhelim sertuner menemukan modifikasi candu yang dicampur amoniak yang kemudian dikenal sebagai Morphin (diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama Morphius). Tahun 1856 waktu pecah perang saudara di A.S. Morphin ini sangat populer dipergunakan untuk penghilang rasa sakit luka-luka perang sebahagian tahanan-tahanan tersebut "ketagihan" disebut sebagai "penyakit tentara". Tahun 1874 seorang ahli kimia bernama Alder Wright dari London, merebus cairan morphin dengan asam anhidrat (cairan asam yang ada pada sejenis jamur) campuran ini membawa efek ketika diuji coba kepada anjing yaitu: anjing tersebut tiarap, ketakutan, mengantuk dan muntah-muntah.

Namun tahun 1898 pabrik obat "Bayer" memproduksi obat tersebut dengannama Heroin, sebagai obat resmi penghilang sakit (pain killer). Tahun 60-an - 70-an pusat penyebaran candu dunia berada pada daerah "Golden Triangle" yaitu Myanmar, Thailand dan Laos, dengan produksi 700 ribu ton setiap tahun. Pada daerah "Golden Crescent" yaitu Pakistan, Iran dan Afganistan dari Golden Crescent menuju Afrika dan Amerika.

Selain morphin dan heroin adalagi jenis lain yaitu kokain (ery throxylor coca) berasal dari tumbuhan coca yang tumbuh di Peru dan Bolavia. Biasanya digunakan untuk penyembuhan Asma dan TBC. Pada akhir tahun 70-an ketika tingkat tekanan hidup manusia semakin meningkat serta tekhnologi mendukung maka diberilah campuran-campuran khusus agar candu tersebut dapat juga dalam bentuk obat dan pil. (DEDI Humas BNN)

KOMPAS.com - Perang Diponegoro adalah serangkaian pertempuran antara Pangeran Diponegoro melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.

Pangeran Diponegoro merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811).

Bermula di Yogyakarta, tempat terjadinya Perang Diponegoro meluas hingga ke banyak daerah di Jawa.

Oleh sebab itu, perlawanan Pangeran Diponegoro juga kerap disebut sebagai Perang Jawa.

Apa sebab umum dan sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro?

Baca juga: Perang Diponegoro: Penyebab, Strategi, dan Dampaknya

Penderitaan rakyat akibat penjajahan

Dominasi Belanda di Yogyakarta membuat rakyat menderita karena dijadikan sebagai objek pemerasan.

Pada waktu itu, pemerintah kerajaan mengizinkan perusahaan asing menyewa tanah untuk kepentingan perkebunan.

Pada umumnya, tanah ini disewa dengan penduduknya sekaligus. Alhasil, para petani tidak dapat mengembangkan hidupnya karena harus menjadi tenaga kerja paksa.

Beban mereka pun semakin berat karena diwajibkan untuk membayar berbagai macam pajak, seperti pajak tanah, pajak halaman pekarangan, pajak jumlah pintu, pajak ternak, pajak pindah nama, dan pajak menyewa tanah atau menerima jabatan.

Di samping itu, masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean atau tol, di mana semua lalu lintas pengangkutan barang juga dikenai pajak.

Bahkan seorang ibu yang menggendong anak di jalan umum juga harus membayar pajak.

Melihat penderitaan rakyat akibat kekejaman Belanda, Pangeran Diponegoro semakin mantab untuk melakukan perlawanan.

Baca juga: Mengapa Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro Sangat Terkenal?

Intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta

Salah satu penyebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta.

Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi tiga kekuasaan (Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran), pada abad ke-18 tidak lepas dari campur tangan Belanda.

Memasuki abad ke-19, situasi di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan.

Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada atau justru melahirkan permasalahan baru di lingkungan kerajaan.

Hal ini juga terjadi di Yogyakarta, di mana konflik di keraton dimanfaatkan Belanda untuk menerapkan taktik adu domba.

Campur tangan pihak kolonial tidak hanya memicu perpecahan, tetapi juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara.

Sejak Sultan Hamengkubuwono III memegang tumpuk pemerintahan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro sangat malu dan prihatin terhadap terjadinya konflik suksesi di keraton.

Bahkan, karena sang ayah sangat sekuler dan cenderung pada budaya Barat, Pangeran Diponegoro memillih meninggalkan aktivitas di keraton dan hanya melakukan audiensi kepada ayahnya pada hari-hari besar.

Baca juga: Siapa Saja Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro?

Sebab khusus Perang Diponegoro

Sebab khusus terjadinya perlawanan Pangeran Diponegoro adalah pematokan tanah oleh Belanda di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Pada tahun 1825, Belanda dengan sengaja menanam patok-patok untuk membuat jalan di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Hal itulah yang membuat kemarahan Pangeran Diponegoro memuncak, dan menyatakan sikap perang terhadap Belanda.

Sebelum insiden patok tersebut, pada 1823, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert diangkat sebagai residen Yogyakarta.

Tanpa diketahui sebabnya, tokoh Belanda ini dikenal sebagai sosok yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro.

Ketiadaan pemimpin yang berwibawa di lingkungan keraton membuat para pejabat Belanda, termasuk Smissaert berbuat semaunya.

Smissaert bahkan selalu duduk di kursi yang disediakan untuk sultan ketika diadakan rapat resmi.

Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman, Pusaka Milik Pangeran Diponegoro

Konflik pribadi antara Pangeran Diponegoro dengan Smissaert semakin tajam sesudah peristiwa saling mempermalukan di depan umum dalam sebuah pesta di kediaman residen.

Kala itu, Pangeran Diponegoro terang-terangan menentang Smissaert. Hal itulah yang membuat Smissaert bekerjasama dengan Patih Danurejo untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta.

Pada suatu hari di tahun 1825, Smissaert dan Patih Danurejo memerintahkan anak buahnya untuk memasang patok dalam rangka membuat jalan baru.

Pemasangan patok ini secara sengaja melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin.

Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti patok-patok itu karena di tanah tersebut terletak makam leluhurnya.

Namun, Patih Danurejo memerintahkan untuk memasang kembali patok-patok itu dengan dikawal pasukan Macanan (pasukan pengawal Kepatihan).

Baca juga: Reog Bulkiyo, Warisan Prajurit Pangeran Diponegoro

Pengikut Pangeran Diponegoro kemudian merespon dengan mencabuti patok-patok yang baru saja ditanam dan menggantinya dengan tombak-tombak mereka, sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda.

Berita insiden patok ini dengan cepat menyebar ke masyarakat, dan setelah itu meletuslah Perang Diponegoro pada 20 Juli 1825.

Penobatan Pangeran Menol

Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak di usia 18 tahun.

Residen Yogyakarta, Baron de Salis, pada awalnya meminta Pangeran Diponegoro untuk menggantikan, tetapi ia menolak.

Pangeran Diponegoro juga menolak kalau Belanda menunjuk Pangeran Menol, yang masih berusia dua tahun, naik takhta.

Ada dua alasan yang mendasari penolakan ini, yaitu karena usia dan latar belakang ibu Pangeran Menol.

Abai dengan pendapat Pangeran Diponegoro, tujuh hari setelah kematian Sultan Hamengkubuwono IV, pemerintah Hindia Belanda menobatkan Pangeran Menol sebagai sultan.

Pangeran Diponegoro merasa Belanda sudah terlalu banyak mencampuri urusan keraton dan tidak dapat dibiarkan lagi.

Oleh sebab itu, Pangeran Diponegoro mulai menyusun strategi untuk melakukan perlawanan.

Baca juga: Siapakah Nama Asli Pangeran Diponegoro?

Intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta

Salah satu penyebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta.

Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi tiga kekuasaan (Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran), pada abad ke-18 tidak lepas dari campur tangan Belanda.

Memasuki abad ke-19, situasi di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan.

Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada atau justru melahirkan permasalahan baru di lingkungan kerajaan.

Hal ini juga terjadi di Yogyakarta, di mana konflik di keraton dimanfaatkan Belanda untuk menerapkan taktik adu domba.

Campur tangan pihak kolonial tidak hanya memicu perpecahan, tetapi juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara.

Sejak Sultan Hamengkubuwono III memegang tumpuk pemerintahan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro sangat malu dan prihatin terhadap terjadinya konflik suksesi di keraton.

Bahkan, karena sang ayah sangat sekuler dan cenderung pada budaya Barat, Pangeran Diponegoro memillih meninggalkan aktivitas di keraton dan hanya melakukan audiensi kepada ayahnya pada hari-hari besar.

Baca juga: Siapa Saja Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro?